Haikuku

Selamat Datang

Posts

Comments

Pengurus

Haikuku

SELAMAT BERGABUNG

Berkarya dan Bersilaturahmi

Konten Haikuku

    Posted by: Unknown Posted date: 03.16 / comment : 2



    Grafis Yanto

    Grafis Yanto 
    Haiku Grafis Sudiyanto Admipro

    Kumpulan Haiku Aghan S Parmin

    Aghan S Parmin
    malam datanglah
    hati sunyi meraja
    pintu bukalah

    sampit, 12 2014

    bintang berkedip
    malam bak rahim bunda
    mengadam-hawa

    sampit, 12 2014

    subuh mengembun
    pagi tabur cahaya
    burung terbanglah

    sampit, 12 2014

    malam meluruh
    gelap menyimpan intan
    bumi terengkuh

    Sampit, 12 2014

    gelembung busa
    angin riuh berlalu
    tangan kosonglah

    sampit, 12 2014

    layang melayang
    dalam kendali tangan
    aku layang kau

    sampit, 12 2014

    disinar bulan
    daun sepuhan perak
    hanyutku haiku

    sampit, 12 2014

    bulan cemerlang
    bumi indah cahaya
    aku dalam Hai

    sampit, 12 2014

    sehabis hujan
    pohon-pohon menghening
    batu tak gigil

    sampit, 12 2014

    Ed Jenura

    Ed Jenura 
    Haiku Grafis Ed Jenura

    Yuharno Uyuh

    HAIKU 1
    Menerjang peluh
    Meregang tangis zaman
    Kelu menahun

    HAIKU 2
    Tangis sang renta
    Langit pekat bergetar
    Anak pendosa

    HAIKU 3
    langit memerah
    di pusara istana
    gagak menjerit

    HAIKU 4
    merenda mimpi
    raih setumpuk toga
    mati berdasi

    HAIKU 5
    tangis sang ibu
    di keheningan malam
    langit bergetar

    HAIKU 6
    di sudut panggung
    kecapiku membisu
    gitar berjingkrak




    Catatan Lutfi Mardiansyah

    HAIKU DAN KETIADAAN PUSAT
    Terlepas dari aturan atau pakem-pakem haiku, baik itu haiku klasik maupun haiku modern, dalam tulisan singkat ini saya ingin membicarakan satu hal mengenai haiku, yaitu “ketiadaan pusat”. Yang saya maksudkan adalah, dalam konteks ini, kata “pusat” bersinonim dengan “gagasan utama”. Dengan demikian saya ingin membahas ketiadaan gagasan yang, di dalam haiku, terkesan tidak terlalu penting, bahkan seringkali—secara ekstrim—ditolak. Logikanya, ketika gagasan pada sesuatu ditolak, maka ia menjadi sesuatu yang “tanpa gagasan”.
    Sebagaimana jenis-jenis puisi seperti diwan, kasidah, ghazal, seringkali digunakan sebagai wadah ekspresi dari ajaran-ajaran sufisme, haiku seringkali dikaitkan dengan ajaran zen. Banyak penyair yang juga penganut ajaran zen menulis koan-koan mereka dalam bentuk haiku—walupun tidak semua. Karena zen dikenal sebagai filsafat kekosongan atau ketiadaan, atau ekstrimnya anti-filsafat, dalam hal ini haiku menjadi semacam perpanjangan dari ajaran tersebut.
    Lalu apa yang ditawarkan haiku jika ia tidak menawarkan sebuah gagasan? Jika kita melihat bahwa dari segi isi puisi terbagi ke dalam dua jenis, yakni puisi-gagasan dan puisi-suasana, bisa jadi “suasana”-lah yang dalam hal ini hendak ditawarkan oleh haiku. Haiku menyediakan wadah bagi sesuatu yang “bukan dipikirkan” melainkan “dinikmati”. Haiku menyediakan wadah bagi fragmen-fragmen yang cenderung bersifat impresif daripada kontemplatif. Potongan suasana yang tiba-tiba, yang terlepas dari sebuah mula dan tidak terselesaikan.
    Analogi sederhananya sebagai berikut: “seseorang membuka pintu”. Seperti itulah haiku. Haiku tak mengurusi dari mana orang itu sebelum dia membuka pintu dan akan ke mana dia setelah membuka pintu. Haiku hanya menangkap impresi-impresi semisal bunyi derit pintu ketika dibuka.
    Dalam fokus pembahasan tersebut saya ingin mengetengahkan haiku karangan Isbedy Stiawan Z S untuk melihat bagaimana ketiadaan gagasan di dalam haiku. Berikut ini haiku-haiku tersebut:
    dan hujan tandang
    menyeret lampu padam
    malam pun hitam
    Pada haiku tersebut, Isbedy melukiskan sebuah potongan suasana yang tersusun dari “hujan”, “lampu”, dan “malam”. Di haiku ini Isbedy hanya menggambarkan bagaimana hujan datang (dan hujan tandang), kemudian hujan tersebut “seolah” membuat lampu-lampu padam (menyeret lampu padam) dan ketiadaan penerangan ini mengakibatkan malam menjadi gelap (malam pun hitam). Sudah. Tapi, apakah selesai sampai di situ? Apakah haiku ini hanya menawarkan potongan kejadian, sebuah puzzle berupa “hujan” yang ber-“tandang”, dan—mungkin—saking lebatnya hujan tersebut hingga ia seperti tirai tebal yang menghalangi pandangan kita dari nyala lampu, seolah-olah “lampu” itu “padam” dan hujan itulah yang membuatnya padam, serta pada gilirannya hal tersebut membuat “malam” menjadi gelap, seluruhnya berwarna “hitam”?
    Apakah selesai sampai di sana dan hanya seperti itu saja?
    Sebab jika kita melakukan pembacaan hermeneutik terhadap teks haiku tersebut maka hasilnya akan lain. Dengan berpegang pada kemiripan konsep, kita bisa membaca “hujan” sebagai suatu “kesedihan”, lalu “lampu (yang) padam” itu sebagai “hilangnya kegembiraan”, kemudian “malam” yang disandingkan dengan “hitam” itu sebagai “kehidupan” yang disandingkan dengan “derita”. Dengan demikian, jika teks haiku tersebut kita baca secara hermeneutik, bisa jadi salah satu tafsiran yang muncul adalah, bahwa haiku tersebut menggambarkan tentang kesedihan yang datang selalu membuat kegembiraan terhapus dan kita merasa hidup kita penuh derita. Justru di sini muncul sebuah gagasan, setidak-tidaknya gagasan mengenai kesedihan sebagai sesuatu yang melenyapkan kegembiraan, bahwa dua hal tersebut—kesedihan dan kegembiraan—ada dalam kerangka oposisi biner di mana, walaupun saling melengkapi, keberadaan yang satu selalu melenyapkan yang lainnya.
    Sebagai penutup tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang timbul atas masalah tersebut di atas untuk selanjutnya—mungkin—bisa dijadikan bahan diskusi atau kajian yang lebih menyeluruh: Apakah ketiadaan pusat di dalam haiku itu suatu realitas yang segera terhapus begitu ia berhadapan dengan teori dan metode pengkajian sastra? Ataukah ini adalah sesuatu yang melampaui hal-hal ilmiah dan akademis tersebut? Sesuatu yang sifatnya esoterik?***

    Denny Cholid Rachmat Awan

    Semoga bermafaat bagi saya pribadi dan saudara2ku, sabahat2ku, sebagai pengetahuan yang perlu juga dikoreksi oleh saudara2ku di grup Haiku oleh :
    Kang Kang Soni Farid Maulana, Kang Diro Aritonang, Kang Yesmil Anwar, Kang Yusef Muldiyana, Kang Igun Prabu, Kang Hikmat Gumelar, Bang Arsyad Indradi, Kang Beni Setia, dan kawan-kawan yang tidak saya sebut semua disini, bilamana ada kekurangan2 mohon dimaafkan tulisan saya ini hanya sebagai refresh saja, dan saya bersyukur semoga dengan kehadiran Kang Lutfi Mardiansyah disini sangat penting buat kita di Haiku bukan sekedar busa dan gincu. Sedikit pengetahuan bagi saya tentang "HAKIKAT KRITIK" semoga kawan-kawan bisa menambahkan dan koreksi : Kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Krinein” yang artinya memisahkan, merinci. Dari bidikan yang dihadapi dengan kenyataannya orang membuat suatu pemisahan, perincian antara nilai dan yang bukan nilai, yang baik dan yang jelek, namun bukan hanya arti susila saja, perlu landasan-landasan untuk menyoroti dalam arti yang sangat luas terhadap menentukan suatu ukuran nilai, yaitu nilai dalam penafsiran, nilai dengan ilmu, kaidah-kaidah atau norma yang menjadi pedoman secara sistematis. Persoalan kritik mempunyai kedudukan yang sangat penting pada kehidupan sosial manusia, karena kritik adalah sebagaimana orang memberikan penilaian atas nilai. Dalam tata kehidupan demokrasi masyarakat, kritik sangat dibutuhkan untuk menilai tentang kebijaksanaan para pemimpin dan para penguasa secara kritis. Seperti terjadi dalam suatu pemilihan umum, yaitu sebagai contoh pemilihan kepemimpinan melalui partai-partainya. Kritik menyoroti wilayah-wilayah tertentu dari suatu praktek kemanusiaan dalam sosialisasinya. Tanpa kritik belum tentu suatu cita-cita sesuai hasil dengan pencapaian harapannya.
    Kritik dilontarkan dengan positif ataupun negatif bagai cambuk seakan-akan menjadi penghambat atau ancaman yang dianggap pengrusakan citra pada para pembuatnya, pada sistem struktural sebuah organisasi atau perseorangan dari sebuah nilai kesucian dan kemurnian hasil karya. Bisa juga kritik menjadi doping atau stimulus untuk mencapai harapan masa depan lebih baik dari yang sudah-sudah. Seorang kritikus sudah tentu harus mengerti hakekat kritik, sifat-sifat kritik dan persyaratan bagaimana melakukan kritik. Kendati demikian bukan tugas yang mudah ketika kritik itu harus diutarakan dan bahwa kritik yang benar adalah suatu nilai dasar untuk kemajuan eksistensi perbuatan kemanusiaan. Menjadi seorang kritikus berkualitas mempunyai disiplin ilmu untuk mempelajari dan memahami bagaimana menyoroti dan melontarkan kritik-kritiknya supaya tepat sasaran terhadap yang dinilainya atas perbuatan-perbuatan yang bisa ditangkap dan tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, seperti yang dilakukan seorang filsuf, agamawan dan masyarakat religius secara spirituil berfikir tentang ketuhanan. Bagaimana kita mengkritisi terhadap seorang hakim menvonis perbuatan seorang terdakwa, pemimpin negara mengatur rakyatnya, seorang seniman bagaimana ia menghasikan karya seni yang diciptakannya. Demikian macam-macam kritik diarahkan bukan serta merta seorang kritikus menjadi dewa terkesan lontaran caci-maki, opini, bisikan-bisikan, gunjingan sebagai kutukan yang gerah, akan tetapi menjadikan spirit dan titik terang mendorong lebih maju untuk melahirkan formula-formula baru dan inovasi pada kemajuan bangsa dan negara, serta satu contoh pada karya seni lebih bermutu sekaligus eksistensi para senimannya. Salam Haiku.

    TULISAN HIKMAT GUMELAR

    DI KUBUR ATAU DI RANJANG?
    Ilmu pengetahuan bekerja dengan klasifikasi. Kerja ini
    memungkinkan abstraksi. Abstraksi memungkinkan teori dan metodologi. Teori dan metodologi memberi jaminan pasti. Tapi klasifikasi kerap hanya mengambil salah satu identita
    s realitas dan menjadikannya arca yang diklai sebagai satu-satunya identitas. Identitas-identitas realitas yang lain kerap sengaja ditindas demi kemudahan dan kerapihan melakukan klasifikasi dan abstraksi, menyusun teori dan metodologi.

    Maka, ilmu pengetahuan potensial menyesatkan, potensial menghancurkan. Sajarah bahkan sudah banyak membuktikan kebiadabannya. Misalnya, antropologi pernah lama menganggap bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bangsa primitf, tidak beradab, karenanya mesti diadabkan. Ilmu sejarah sendiri

    selama berabad-abad menganggap bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa silam berdasarkan arsip. Di luar arsip, bukan sumber sejarah. Dan sejarah yang disusun berdasarkan sumber-sumber lisan dianggap bukan sejarah, dianggap sebagai

    tahyul. Anggapan ini memungkinkan lahirnya kolonialisme dan neokolonilisme yang hingga hari ini masih terus beroperasi.

    Potensi buruk ilmu pengetahuan akan semakin besar jika
    melihat kondisi hari ini. Ini hari arus perubahan sebegitu deras. Informasi melebihi gelombang tsunami. Gelombang tsunami menerjang dalam rentang waktu tertentu yang tak berlebih mungkin jika disebut cukup lama. Dan datangnya dari satu arah. Sementara gelombang informasi ini hari meluap dan menyergap di setiap
    tarikan napas dan dari berbagai arah. Ini kondisi yang memungkinkan semakin banyak orang seperti ditulis Chairil Anwar dalam “Catatan Th. 1946:

    Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

    Karena itu, yang disebut data-data sekalipun, yang disebut
    fakta-fakta sekalipun, selalu hanya sejumput. Hal ini karena pengumpulannya dilakukan seperti oleh “anjing diburu”. Begitu pula perenungannya, yang karuan bukan di tepian tasik yang tenang, melainkan di tengah arus deras perubahan dan luapan dan sergapan gelombang informasi dari berbagai arah yang tak sudah-sudah. Belum lagi jika mengingat bahwa yang dinamakan “data” dan “fakta” adalah buah kesepakatan segolongan orang. Segolongan orang ini tentu saja bukan malaikat. Mereka tida nirkepentingan. Dan mereka pun selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu yang karuan pula memengaruhi caranya memandang. Dengan demikian, jikapun ditemukan kebenaran, makna, dan arti, itu senantiasa parsial, senantiasa sementara. Konsekuensinya memang bukan sama sekali menafikan ilmu pengetahun, bukan anti-ilmu pengetahuan. Tapi jauhkanlah sikap menjadikan ilmu

    pengetahuan sebagai berhala. Bukalah selalu mata bahkan ketika tidur. Teliti dengan cermat, jernih, dan rendah hati setiap pijakan, langkah, dan temuan. Dunia ini sedemikian luas dan otak siapa pun hanya sekepalan bayi. Perkara bertambah lagi jika yang ditulis Chairil itu benar bahwa “kita hanya melihat dari sebagian sandiwara sekang. Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”. Ini karena kita di abad ke-21 ini seperti “Anjing diburu”.
    Saya merasa perlu menulis begitu setelah membaca teks yang

    diniatkan oleh Lutfi Mardiansyah sebagai kritik sastra. Sebetulnya saya enggan masuk dalam perdebatan yang dimulai oleh ayunan palu hakim dan lalu disusul oleh banyak semburan derau. Saya telah mencoba sebentar meredakan meski semata karena saya merasa Lutfi menyapa saya. Percobaan itu saya lakukan dengan

    menyelipkan kutipan utuh “Gunung-Gunung”, puisi Emily Dickinson, dalam dalam komentar saya untuk Teh Meycha. Puisi bagus yang diterjemahkan dengan bagus oleh Gunawan Mohamad itu, hemat saya, relevan untuk hadir di tengah ayunan palu dan semburan-semburan derau. Tapi “Gunung-Gunung” itu rupanya tak didaki.

    Padahal, seingat saya, saya pun sudah menulis sedikit kisah mengenai kenapa sampai Emily baru dikenal sebagai penyair brilian di Amerika Serikat, bahkan kemudian dunia, setelah dia mangkat.

    Sebenarnya komentar Kang Beni Setia sudah menunjukkan kekurangan mendasar dari teks Lutfi itu. Dengan cukup gamblang Kang Beni mengatakan bahwa teks Lutfi itu dibangun di atas pandangan yang menyamaratakan, gebyah uyah. Semua haiku diandaikan “tidak ada pusat”, yang berarti “tidak ada gagasan”.
    Jika saja itu dibaca dengan mata terbuka, cukup sudah. Goyah itu yang mengklaim sebagi teks ilmiah. Namun, seperti “Gunung-Gunung”, itu pun seperti dilewat begitu saja. Maka, mencuatlah tanya, kenapa bisa demikian? Apa yang memungkinkannya?

    Saya merasa bebal. Saya gagal menemukan jawab. Saya hanya
    semata bisa menduga, jangan-jangan muasal perkaranya dari penjadian pemilahan yang populer di tahun 70-an, yakni soal puisi suasana dan puisi gagasan, sebagai pijakan. Dan pemakaian pemilahan ini sebagai pijakan dibeking oleh pandangan mengenai puisi yang terdiri dari isi dan wadah seperti air dan ember. Menurut Lutfi, isi puisi itu ada dua, yakni gagasan dan suasana. Berdasarkannya, disebutkannya lah bahwa semua haiku adalah berisi suasana. Lalu diperkuat dengan menyebut kebertautan haiku dengan Zen yang punya tradisi koan. Saya merasa tak perlu lompat jauh-jauh ke sejarah perkembangan haiku, terlebih dengan mengaitkannya dengan Zen dan koan. Cukup rasanya dengan kita menyoal perkara puisi yang seperti air dan ember serta isi puisi yang terdiri dari suasana dan gagasan. Apakah iya puisi bisa dijadikan

    terpisah antara wadah dan isi? Dan, sebenarnya pertanyaan ini tak perlu diajukan karena andaian yang mendasarinya sudah ilusif, apakah iya isi puisi hanya suasana dan gagasan? Apa yang dimaksud gagasan? Apa yang dimaksud suasana? Apa dalam suasana mustahil ada gagasan? Apa dalam gagasan mustahil
    mengahdirkan suasana? Apa pula tak ada lain di luar gagasan dan suasana?

    Kecuali itu, Lutfhi pun mengklaim memakai hermenetik untuk
    menjalankan penafsiran lapis kedua terhadap karya Mas Isbedy. Sementara dia mengatakan bahwa haiku adalah karya tanpa pusat. Jika mau konsisten, menggunakan hermenit untuk mebaca karya yang konon tanpa pusat itu slangkah baik untuk hati-hati. Pasalnya, sila ingat sejarah hermenetik, juga tokoh-tokohnya. Dari situ terang bahwa hermenetik itu mengandaikan adanya kebenaran utama. Itu yang harus diburu. Saya dengar, pendekatan ilmiah itu wajib menjelaskan istilah-isitilah kunci. Penjelasan itu wajib meniadakan acuan ganda, wajib meniadakan mabiguitas. Kewajiban ini rasanya belum dipenuhi Lutfi. Masih banyak yang sebetulnya perlu dipersoalkan. Namun itu saja rasa-rasanya sudah lebih

    dari cukup, apalagi dua baris “Catatan Th. 1946” itu sudah sangat terang mengingatkan kita. Atau biar tak terlewat pula kita petik saja lagi, ya:
    Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang 

    SDFK

    KIRIMAN DARI SDFK

    Mien Ardiwinata Kusdiman

    SDFK # Bayang Bayang Sepanjang Badan #
    malam kembali hening
    seperti malam kemarin
    dan kemarinnya lagi
    hujanpun terus menderas
    dari malam kemarin
    dan kemarinnya lagi
    menggigil aku kedinginan
    walau sudah berselimut tebal
    mestinya kamu ada disini..
    tapi aku sangat tahu
    kau sudah ada disana
    dan aku harus tetap disini
    semuanya harus seperti ini
    kita berpisah sayang..

    hingga larut tak jua aku terlelap
    aku tidur dikamar kita
    dengan sprei putih berenda
    dan aroma bunga sedap malam yang kamu suka
    dinding kamar cantik kita
    bertaburan kenangan silam
    ada kamu dan aku dalam pigura waktu
    semua bercerita tentang kita
    cerita silam sangat indah
    ketika bersamamu..
    aku sangat bahagia
    walau ada air mata
    tak semua tangis artinya sakit
    tak semua air mata adalah duka
    terimakasih buatmu kekasih
    yang telah mengisi indahnya hari hariku
    sekian lama.. dengan janji dan cinta tulus
    dalam meniti dari waktu ke waktu
    hingga pelukan terakhir kita
    ( revisi puisi celoteh hati - resminiardiwinata - januari 2013 )

    icon allbkg

    Tagged with:

    Next
    Posting Lebih Baru
    Previous
    Posting Lama

    2 for Kumpulan HAIKU

    Isilah Komen dibawah ini dengan Bebas dan Sopan :D

Komentar

Anggota Haikuku